Kamis, 15 Januari 2015

Katakan chees lalu Mati (Goosebump # 4)bag2

3

"Ini menangkapku. Ini menangkapku"
Pada saat Bird bersuara menjerit ketakutan, Greg mendorong melalui Michael dan Shari, yang berdiri beku dengan mulut ternganga ngeri. Hampir-hampir melayang menuruni tangga yang curam, Greg memanggil temannya. "Aku datang Bird Apa itu"
Jantungnya berdebar, Greg berhenti di bawah tangga, setiap ototnya tegang dengan ketakutan. Matanya panik mencari-cari melalui cahaya berasap yang mengalir dari jendela ruang bawah tanah di dekat langit-langit.
"Bird?"
Dia di sana, duduk nyaman, tenang, di atas tong sampah logam yang terbalik, kakinya disilangkan, teesenyum lebar di wajah burungnya. "Kena kau," katanya pelan, dan tertawa keras.
"Ada apa? Apa yang terjadi?" suara-suara takut datang dari Michael dan Shari. Mereka berteriak-teriak menuruni tangga, datang berhenti di samping Greg.
Mereka hanya perlu waktu beberapa detik untuk menyadari situasinya.
"Lelucon bodoh lainnya?" tanya Michael, suaranya masih gemetar ketakutan.
"Bird - kau iseng lagi pada kami?" tanya Shari, menggelengkan kepalanya.
Menikmati momennya, Bird mengangguk, dengan setengah seringai anehnya. "Kalian terlalu mudah (ditipu)," ejeknya.
"Tapi, Doug -" Shari memulai. Dia hanya memanggilnya Doug ketika ia kesal dengannya. "Apakah kau belum pernah mendengar anak yang berteriak serigala? Bagaimana jika kapan-kapan sesuatu yang buruk terjadi, dan kau benar-benar butuh bantuan, dan kami pikir kau hanya iseng?"
"Apa yang bisa terjadi?" jawab Bird puas. Dia berdiri dan menunjuk ke sekeliling ruang bawah tanah. "Lihat - di sini lebih terang daripada di atas."
Dia benar. Sinar matahari dari halaman belakang mengalir turun melalui empat jendela-jendela panjang di permukaan tanah, dekat langit-langit ruang bawah tanah.
"Aku masih berpikir kita harus keluar dari sini," desak Greg, matanya bergerak cepat di sekitar ruangan besar yang kacau itu.
Di belakang tong sampah Bird yang terbalik berdiri sebuah meja buatan sendiri yang terbuat dari selembar kayu triplek diletakkan diatas empat kaleng cat. Sebuah kasur yang hampir datar, kotor dan bernoda, juga bersandar di dinding, selimut wol pudar terlipat di bawah.
"Spidey pasti hidup di bawah sini" seru Michael.
Bird iseng berjalan melalui tumpukan kotak-kotak makanan kosong yang telah dilemparkan di seluruh lantai - kebanyakan makan malam TV. "Hei, makan malam si orang yang lapar " serunya. "Di mana Spidey memanaskan makanan-makanan ini?"
"Mungkin dia memakannya (dalam keadaan) beku," usul Shari. "Kau tahu. Seperti es lilin."
Dia berjalan menuju lemari kayu ek yang tinggi dan membuka pintunya. "Wah. Ini sangat bagus" Katanya. "Lihat" Dia mengeluarkan sebuah mantel bulu yang tampak kumal dan melilitkannya di bahunya. "Bagus" ulangnya, berputar-putar di dalam mantel tua.
Dari seberang ruangan, Greg bisa melihat bahwa lemari itu penuh dengan pakaian tua. Michael dan Bird bergegas bergabung dengan Shari dan mulai menarik keluar sepasang celana panjang yang kelihatan aneh yang berlonceng bawahnya, kemeja menguning dengan lipatan di bagian depan, dasi-dasi yang dicelup selebar satu kaki, dan syal-syal dan saputangan-saputangan besar berwarna cerah.
"Hei, teman-teman -" Greg memperingatkan. "Tidakkah kalian pikir mungkin benda-benda itu milik seseorang?"
Bird berputar, selendang merah berbulu halus melilit leher dan bahu. "Ya. Baju-baju Ini adalah kostum Spidey." kelakarnya.
"Lihat topi ini baad," kata Shari, berbalik untuk memamerkan topi ungu terang berpinggiran lebar yang diambilnya.
"Rapi," kata Michael, memeriksa jubah biru panjang. "Pakaian ini pasti setidaknya dua puluh lima tahun. Ini mengagumkan.. Bagaimana mungkin seseorang meninggalkannya di sini begitu saja?"
"Mungkin mereka akan datang kembali untuk itu," usul Greg.
Saat teman-temannya memeriksa isi lemari, Greg berjalan ke ujung lain dari ruang bawah tanah besar itu. Satu tungku perapian menempati dinding yang luas, pipa yang tertutup sarang laba-laba yang tebal. Sebagian tersembunyi oleh saluran tungku, Greg bisa melihat tangga, mungkin mengarah ke pintu keluar.
Rak kayu berjajar di tengah dinding, penuh dengan kaleng cat lama, kain, koran, dan alat-alat ya gberkarat.
Siapapun yang siapa tinggal di sini pastinya benar-benar seorang tukang, pikir Greg, memeriksa meja kerja kayu di depan rak. Sebuah catok logam dijepit ke tepi meja kerja. Greg memutar pegangan, mengharapkan jepitan catok terbuka.
Tapi ia terkejut, saat ia memutar gagang catok, suatu pintu tepat di atas meja kerja muncul terbuka. Greg menarik seluruh pintu hingga terbuka, menampakkan sebuah rak lemari tersembunyi.
Tergeletak di rak itu sebuah kamera.

4

Selama beberapa saat, Greg hanya menatap kamera itu.
Sesuatu mengatakan kepadanya kamera disembunyikan karena suatu alasan.
Sesuatu mengatakan bahwa dia tak boleh menyentuhnya. Dia harus menutup pintu rahasia dan berjalan pergi.
Tapi dia tak bisa melawannya.
Dia mengulurkan (tangannya) ke rak tersembunyi itu dan mengambil kamera itu dengan tangannya.
Kamera itu ditarik keluar dengan mudah. Kemudian, Greg terkejut, pintu langsung terhentak menutup dengan suara keras.
Aneh, pikirnya, membalik kamera itu di tangannya.
Tempat yang aneh untuk meninggalkan kamera. Mengapa seseorang menaruhnya di sini? Jika ini cukup berharga untuk disembunyikan di lemari rahasia, mengapa mereka tak membawanya bersama mereka?
Dengan bersemangat Greg memeriksa kamera itu. Kamera itu besar dan cukup berat, dengan lensa panjang. Mungkin lensa potret jarak jauh, pikirnya.
Greg sangat tertarik dengan kamera-kamera. Dia memiliki kamera otomatis murahan, yang mengambil foto dengan baik. Tapi ia menabung uang sakunya dengan harapan membeli kamera yang benar-benar baik dengan banyak lensa.
Dia suka melihat majalah-majalah kamera, mempelajari model-model yang berbeda, memilih yang ingin dibelinya.
Seringkali ia melamun tentang bepergian di seluruh dunia, pergi ke tempat-tempat menakjubkan, puncak-puncak gunung dan sungai-sungai di hutan tersembunyi. Dia memotret semua yang dia lihat dan menjadi seorang fotografer terkenal.
Kameranya di rumah itu terlalu payah. Itu sebabnya semua foto-fotonya yang keluar terlalu gelap atau terlalu terang, dan semua orang di foto-fotonya ada sinar titik merah di mata mereka.
Greg bertanya-tanya apakah kamera ini ada gunanya.
Mengangkat bidikan kamera ke matanya, ia mengamati sekitar ruangan. Dia datang berhenti di Michael, yang mengenakan dua bulu kuning terang Boas, topi Stetson putih dan telah naik ke puncak tangga untuk berpose.
"Tunggu Tahan" teriak Greg, bergerak mendekat, mengangkat kamera itu ke matanya. "Biarkan aku memotretmu, Michael."
"Di mana kau menemukannya?" tanya Bird.
"Apa kamera itu ada filmnya di dalamnya?" tuntut Michael.
"Aku tak tahu," kata Greg. "Ayo kita lihat."
Sambil bersandar pada jeruji pagar, Michael melakukan pose apa saja yang dianggapnya canggih.
Greg menunjuk ke kamera dan menfokuskan dengan hati-hati. Butuh waktu yang singkat bagi jarinya untuk menemukan tombol rana (pemetik foto). "Oke, siap Katakanlah cheese (keju)?"
"Cheddar," kata Michael, menyeringai ke arah Greg saat ia menahan posenya pada jeruji pagar.
"Sangat lucu. Michael amat lucu." Kata Bird sinis.
Greg memusatkan Michael di bingkai jendela bidik, kemudian menekan tombol rana.
Kamera itu ditekan dan berkilat.
Kemudian kamera itu membuat suara mendesing elektronik. Sebuah slot terbuka di bagian bawah, dan satu kertas karton persegi meluncur keluar.
"Hei - ini salah satu dari kamera cuci otomatis," seru Greg. Dia menarik keluar kertas karton persegi dan memeriksanya. "Lihat - gambarnya mulai dicuci."
"Coba kulihat," teriak Michael ke bawah, bersandar di pagar.
Tapi sebelum dia mulai menuruni tangga, semua orang mendengar suara berderak keras.
Mereka semua mendongak ke sumber suara - dan melihat jeruji pagar putus dan Michael melayang ke pinggir atas.
"Tidaaaak" jerit Michael saat dia jatuh ke lantai, dengan lengan terentang, bulu Boas bulu di belakangnya seperti ekor-ekor binatang.
Dia berbalik di udara, lalu terbentur beton keras di punggungnya, matanya membeku, melebar keheranan dan takut.
Dia terpental satu kali.
Lalu berteriak lagi: "Pergelangan kakiku Aaauuu Pergelangan kakiku" Dia meraih pergelangan kakinya yang cedera, lalu cepat-cepat melepaskan dengan terkesiap keras. Terlalu sakit untuk menyentuhnya.
"Ohhh - pergelangan kakiku"
Masih memegang kamera dan foto, Greg bergegas untuk Michael. Shari dan Bird melakukan hal yang sama.
"Kami akan pergi mencari bantuan," kata Shari pada Michael, yang masih (berbaring) di punggungnya, mengerang kesakitan.
Tapi kemudian mereka mendengar langit-langit berderit.
Langkah-langkah kaki. Di atas mereka.
Seseorang ada di rumah.
Seseorang mendekati tangga ruang bawah tanah.
Mereka akan tertangkap.

5

Langkah-langkah kaki di atas semakin keras.
Keempat sekawan itu saling memandang ketakutan.
"Kita harus keluar dari sini," bisik Shari.
Langit-langit berderak.
"Kalian tak bisa meninggalkanku di sini" protes Michael. Dia menarik dirinya ke posisi duduk.
"Cepat - berdiri," perintah Bird.
Michael berusaha berdiri. "Aku tak dapat berdiri dengan kaki ini." Wajahnya menunjukkan kepanikannya.
"Kami akan membantumu," kata Shari, memutar matanya ke Bird. "Aku akan memegang satu lengan, kau (Bird) memegang yang lainnya."
Bird dengan patuh bergerak maju dan menarik lengan Michael di bahunya.
"Oke, ayo kita bergerak" bisik Shari, menyangga Michael dari sisi lainnya.
"Tapi bagaimana kita keluar?" tanya Bird terengah-engah.
Langkah-langkah kaki itu semakin keras. Langit-langit berderak di bawah berat badan mereka.
"Kita tak bisa naik tangga itu," bisik Michael, bersandar pada Shari dan Bird.
"Ada satu tangga lagi di belakang tungku perapian," kata Greg pada mereka, sambil menunjuk.
"Ini mengarah keluar?" tanya Michael, meringis dari rasa sakit pergelangan kakinya.
"Mungkin."
Greg memimpin jalan. "Berdoa saja pintu itu tak digembok atau lainnya."
"Kami berdoa Kami berdoa" kata Bird.
"Kita pergi dari sini" kata Shari, mengerang di bawah lengan berat Michael.
Bersandar berat terhadap Shari dan Bird, Michael tertatih-tatih setelah Greg, dan mereka berjalan ke tangga di belakang tungku perapian. Tangga itu, mereka melihat, mengarah ke pintu ganda kayu di permukaan tanah.
" Aku tak melihat gembok," kata Greg khawatir. " Mudah-mudahan, pintu itu terbuka"
"Hei - siapa di bawah sana?" suara seorang pria yang marah memanggil dari belakang mereka.
"Itu - itu Spidey" Michael tergagap.
"Cepat" desak Shari, memberikan Greg dorongan karena ketakutan. "Ayo"
Greg mengatur kamera itu ke bawah pada tangga teratas. Kemudian dia mengulurkan tangan dan meraih pegangan pintu ganda.
"Siapa di bawah sana?"
Suara Spidey terdengar dekat, marah.
"Pintu-pintu itu bisa dikunci dari luar," bisik Greg, ragu-ragu.
"Cukup dorong saja, Bung" pinta Bird.
Greg menghela napas dalam-dalam dan mendorong dengan seluruh kekuatannya.
Pintu itu tak bergeming.
"Kita terjebak," katanya kepada mereka.

6

"Sekarang apa?" rengek Michael.
"Coba lagi," Bird mendesak Greg. "Mungkin hanya macet." Dia menyelip keluar dari bawah lengan Michael. "Sini. Aku akan membantumu."
Greg pindah ke atas memberi ruang bagi Bird untuk naik disampingnya. "Siap?" tanyanya. "Satu, dua, tiga - dorong"
Kedua anak laki-laki mendorong pintu kayu berat itu dengan sekuat mereka.
Dan pintu terbuka.
"Oke Sekarang kita keluar dari sini" kata Shari gembira.
Dengan membawa kamera itu, Greg memimpin jalan keluar. Halaman belakang itu, ia lihat, terhalang rerumputan liar dan tumbuh di luar kendali di bagian depan. Satu dahan yang sangat besar jatuh dari sebuah pohon ek tua, mungkin saat badai, roboh setengah di pohon, setengah di tanah.
Entah bagaimana, Bird dan Shari berhasil menyeret Michael menaiki tangga dan ke rerumputan.
"Kau bisa berjalan? Coba saja," kata Bird.
Masih bersandar kepada mereka berdua, Michael dengan enggan menekan kakinya di atas tanah. Dia mengangkatnya. Kemudian menekan lagi. "Hei, rasanya sedikit lebih baik," katanya, terkejut.
"Kalau begitu ayo kita pergi," kata Bird.
Mereka lari ke pagar tanaman penuh tumbuhan yang berada di sepanjang sisi halaman, Michael sendiri sekarang melangkah dengan hati-hati di atas pergelangan kaki yang sakit, berjaga-jaga sebaik mungkin. Lalu, tetap di bawah bayangan pagar, mereka berjalan memutari rumah ke depan.
"Bagus" teriak Bird gembira saat mereka sampai di jalanan. "Kita berhasil"
Terengah-engah, Greg berhenti di pinggir jalan dan berbalik kembali ke rumah. "Lihat" teriaknya, menunjuk ke jendela ruang tamu.
Sebuah bayangan gelap berdiri di jendela, tangan-tangan menempel pada kaca.
"Itu Spidey," kata Shari.
"Dia c uma - menatap kita," seru Michael.
"Aneh," kata Greg. "Mari kita pergi."
Mereka tak berhenti hingga mereka sampai di rumah Michael, suatu rumah luas berkayu merah bergaya peternakan di belakan halaman depan yang teduh.
"Bagaimana pergelangan kakimu?" tanya Greg.
"Sudah mendingan. Bahkan tak terlalu sakit," kata Michael.
"Bung, kau bisa saja terbunuh" kata Bird, menyeka keringat dari dahinya dengan lengan kausnya.
"Terima kasih mengingatkanku," kata Michael datar.
"Untungnya kau punya semua bantal tambahan," goda Bird.
"Diam," gumam Michael.
"Nah, kalian menginginkan petualangan," kata Shari, bersandar di batang pohon.
"Pria itu Spidey sudah pasti aneh," kata Bird, menggelengkan kepalanya.
"Kau lihat bagaimana caranyamenatap kita?" tanya Michael. "Berpakaian hitam seluruhnya dan semuanya. Dia tampak seperti semacam zombie atau sesuatu?"
"Dia melihat kita," kata Greg pelan, tiba-tiba merasa dingin ketakutan. "Dia melihat kita sangat jelas. Kita sebaiknya menjauh dari sana.."
"Untuk apa?" tuntut Michael. "Itu bukan rumahnya. Dia hanya tidur di sana. Kita bisa menelepon polisi akan dirinya."
"Tapi kalau dia benar-benar gila atau sesuatu, tak ada mengatakan apa yang mungkin dilakukannya," jawab Greg berpikir.
"Ah, dia tak akan melakukan apa pun," kata Shari tenang. "Spidey tak ingin masalah. Dia hanya ingin dibiarkan sendiri.."
"Ya," Michael setuju dengan cepat. "Dia tak ingin kita bermain-main dengan barang-barangnya. Itulah mengapa ia berteriak seperti itu dan mengejar kita.."
Michael sedang membungkuk, menggosok pergelangan kakinya. "Hei, mana fotoku?" tuntutnya, meluruskan (diri) dan berpaling ke Greg.
"Hah?"
"Kau tahu. Foto yang kau ambil dengan kamera itu."
"Oh Benar.." Greg tiba-tiba menyadari dia masih mencengkeram erat kamera itu di tangannya. Dia meletakkannya dengan hati-hati di rumput dan merogoh saku belakang celananya. "Aku menaruhnya di sini ketika kita mulai berlari," jelasnya.
"Yah ? Apakah itu keluar?"tuntut Michael.
Ketiganya berkerumun membungkuk di sekitar Greg agar bisa melihat jepretan foto.
"Wah - tunggu sebentar" teriak Greg, menatap tajam pada foto kecil persegi itu. "Ada sesuatu yang salah. Apa yang terjadi di sini?"

7

Keempat Mends (?) itu melongo atas foto di tangan Greg, mulut mereka ternganga karena terkejut.
Kamera telah menangkap Michael di udara saat ia jatuh ke lantai melalui jeruji pagar yang rusak.
"Itu tak mungkin" teriak Shari.
"Kau mengambil foto sebelum aku jatuh" kata Michael, merebut foto itu dari tangan Greg sehingga ia bisa mempelajarinya dekat. "Aku mengingatnya."
"Ingatanmu salah," kata Bird, bergerak untuk mendapatkan pandangan yang lain dari balik bahu Michael. "Kau jatuh, bung. Suatu foto aksi yang bagus." Dia mengambil kamera. "Ini adalah kamera yang bagus yang kau curi, Greg."
"Aku tak mencurinya" - Greg memulai - "Maksudku, aku tak menyadari -"
"Aku tak jatuh" Michael bersikeras, memiringkan gambar di tangannya, mempelajarinya dari setiap sudut. "Aku berpose, ingat ? Aku memiliki senyum besar konyol di wajahku, dan aku berpose."
"Aku ingat senyum konyol itu," kata Bird, menyerahkan kamera kembali ke Greg. "Apakah kau punya ekspresi lainnya?"
"Kau tak lucu, Bird," gumam Michael. Dia mengantongi gambar itu.
"Aneh," kata Greg. Dia melirik arlojinya. "Hei - aku harus pergi."
Dia mengucapkan selamat tinggal kepada yang lain dan menuju rumah. Matahari sore sedang turun dibalik sekelompok pohon palem, bentuk yang panjang pergeseran bayangan-bayangan di atas trotoar.
Dia telah berjanji pada ibunya bahwa ia akan merapikan kamarnya dan membantu menyedot debu sebelum makan malam. Dan sekarang ia sudah terlambat.
Apa itu mobil asing di jalanan? ia bertanya-tanya, berlari-lari kecil melewati halaman tetangga menuju rumahnya.
Itu adalah mobil biru station wagon Taurus. Merek baru.
Ayah mengambil mobil baru kami ia menyadari.
Wow Greg berhenti untuk mengaguminya. mobil ini masih memiliki stiker menempel ke jendela pintu. Dia membuka pintu pengemudi, membungkuk, dan mencium bau pelapis vinil.
Mmmmmm. Itu bau mobil baru.
Dia menarik napas dalam lagi. Baunya begitu enak. Begitu segar dan baru.
Dia menutup pintu keras-keras, menilai bunyi debam benda padat it saat tertutup.
Mobil baru yang hebat, pikirnya penuh semangat.
Dia mengangkat kamera ke matanya dan mengambil beberapa langkah mundur jalanan.
Aku harus mengambil gambarnya, pikirnya. Untuk mengingatkan seperti apa mobil itu saat benar-benar baru.
Dia mundur sampai ia membingkai seluruh mobil station wagon itu dalam jendela bidik. Lalu ia menekan tombol pemetik potret.
Seperti sebelumnya, kamera berbunyi klik keras, lampu kilat menyala, dan dengan deru elektronik, sebuah foto yang belum dicuci, suatu persegi abu-abu dan kuning meluncur keluar dari bagian bawah.
Membawa kamera dan foto, Greg berlari ke dalam rumah melalui pintu depan. "Aku pulang" teriaknya. "Turun sebentar lagi" Dan bergegas menaiki tangga berkarpet ke kamarnya.
"Greg? Apakah itu kau? Ayahmu di rumah," panggil ibunya dari lantai bawah.
"Aku tahu. Sebentar lagi (aku) turun. Maaf, aku terlambat" teriak Greg kembali.
Lebih baik aku menyembunyikan kamera ini, putusnya. Jika ibu atau ayah melihatnya, mereka akan ingin tahu punya siapa itu dan dari mana aku mendapatkannya. Dan aku tak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
"Greg - apakah kau sudah melihat mobil baru ? Apa kau sudah turun?" panggil ibunya tak sabar dari kaki tangga.
"Aku datang" teriaknya.
Matanya panik mencari tempat persembunyian yang baik.
Di bawah tempat tidurnya?
Tidak. Ibunya mungkin menyedot (debu) di bawah sana dan menemukannya.
Kemudian Greg teringat ruangan rahasia di ujung papan tempat tidurnya. Dia menemukan ruangan itu tahun lalu ketika orangtuanya membelikannya satu set tempat tidur baru. Dengan cepat, ia mendorong kamera itu masuk (kedalam).
Menatap ke dalam cermin di atas meja rias, ia menyikat rambut pirangnya sikat dengan cepat, mengusap coretan jelaga hitam di pipinya dengan satu tangan, kemudian mulai ke pintu.
Dia berhenti di ambang pintu.
Foto mobil itu. Di mana ia meletakkannya?
Butuh beberapa detik untuk mengingat bahwa ia melemparkannya ke tempat tidurnya. Penasaran tentang bagaimana hasilnya, ia kembali untuk mengambilnya.
"Oh, tidak"
Dia menjerit pelan ketika dia menatap foto itu.

8

Apa yang terjadi di sini? Greg bertanya-tanya.
Dia mendekatkan foto itu ke wajahnya.
Ini tak benar, pikirnya. Bagaimana ini bisa
Mobil biru station wagon Taurus dalam foto itu berantakan. Tampaknya seolah-olah mengalami kecelakaan yang mengerikan. Kaca depannya hancur. Logam bengkok dan melemgkung. Pintu di sisi pengemudi itu ambruk,
Mobil itu tampak (hancur) seluruhnya
"Ini tak mungkin" Greg berucap pelan.
"Greg, kau di mana?" panggil ibunya. "Kami semua lapar, dan kau membuat kami menunggu."
"Maaf," jawabnya, tak dapat mengalihkan pandangannya dari foto itu. "Aku datang."
Dia memasukkan foto itu ke dalam laci lemari paling atas dan berjalan ke lantai bawah. Gambar dari mobil yang terbakar menguasai pikirannya.
Hanya untuk memastikan, ia menyeberangi ruang tamu dan mengintip keluar dari jendela depan ke jalan masuk.
Di sana berdiri station wagon, berkilauan dalam cahaya matahari terbenam. Mengkilap dan sempurna.
Dia berbalik dan berjalan ke ruang makan di mana saudaranya dan orang tuanya sudah duduk. "Mobil wagon baru yang mengagumkan, Yah," kata Greg, mencoba mengusir gambar foto itu dari pikirannya.
Tapi dia terus melihat logam yang bengkok, pintu pengemudi yang ambruk, kaca depan yang hancur.
"Setelah makan malam," Ayah mengumumkan kepada Greg dengan gembira, "Aku akan membawa kalian semua berjalan-jalan dengan mobil baru"

9

"Mmmm ini ayam yang enak,." Kata saudara Greg Terry, berbicara sambil menguyah.
"Terima kasih atas pujiannya," kata Mrs Banks datar, "tapi itu daging sapi muda -bukan daging ayam"
Greg dan ayahnya tertawa. Wajah Terry memerah. "Yah," katanya, masih mengunyah, "itu daging sapi muda yang sangat enak, rasanya sebagus ayam"
"Aku tak tahu mengapa aku repot-repot memasak," desah Mrs Bank.
Mr Banks mengganti topik pembicaraan. "Bagaimana di Dairy Freeze?" dia bertanya.
"Kami kehabisan vanili sore ini," kata Terry, menggarpu sebuah kentang kecil dan memasukkannya utuh ke dalam mulutnya. Dia mengunyah sebentar, lalu menelannya. "Orang-orang jengkel tentang itu."
"Kupikir aku tak bisa ikut," kata Greg, menatap makan malamnya, yang hampir tak tersentuh. "Maksudku -"
"Mengapa tidak?" tanya ayahnya .
"Yah..." Greg mencari di pikirannya alasan yang baik. Dia perlu satu, tapi pikirannya kosong.
Dia tak bisa memberitahu mereka kebenaran.
Bahwa dia telah mengambil foto Michael, dan foto itu menunjukkan Michael jatuh. Lalu beberapa detik kemudian, Michael jatuh.
Dan sekarang ia telah mengambil gambar dari mobil baru. Dan mobil itu hancur di foto.
Greg tak benar-benar tahu apa artinya. Tapi dia tiba-tiba dipenuhi dengan perasaan yang kuat, takut, ketakutan,. . . Yang ia tak tahu apa.
Semacam perasaan salah yang tak pernah dialaminya sebelumnya.
Tapi dia tak bisa memberitahu mereka semua itu. Itu terlalu aneh. Terlalu gila.
"Aku... berencana untuk pergi ke Michael," katanya berbohong, menatap piringnya.
"Yah, telpon dia dan katakan padanya kau akan menemuinya besok," kata Mr Banks, mengiris daging sapinya. "Itu tak masalah."
"Yah, aku juga merasa kurang sehat," kata Greg.
"Apa yang salah?" tanya Mrs Bank dengan keprihatinan singkat. "Apakah kau demam? Kupikir kau tampak sedikit memerah ketika kau masuk"
"Tidak," jawab Greg tak nyaman. "Bukan demam. Aku hanya merasa agak lelah, tak terlalu lapar.."
"Bisakah aku memiliki daging ayammu - Maksudku, daging sapi?" tanya Terry penuh semangat. Dia meraih garpunya melewati meja dan menangkap potongan daging di piring Greg.
"Yah, perjalanan yang menyenangkan bisa membuat kau merasa lebih baik," kata ayah pada Greg, melirik Gregcuriga. "Kau tahu, udara segar. Kau bisa berbaring di belakang jika kau mau.."
"Tapi, ayah -" Greg berhenti. Dia telah menggunakan semua alasan yang bisa dipikirkannya. Mereka tak akan pernah percaya kalau dia mengatakan dia harus tinggal di rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah pada malam minggu
"Kau ikut kami, titik," kata Mr Banks, masih mempelajari Greg. "Kau sudah sekarat saat mobil baru ini tiba aku benar-benar tak mengerti masalahmu.."
Aku juga tidak, aku Greg pada dirinya sendiri.
Aku tak mengerti sama sekali. Mengapa aku begitu takut naik mobil baru? Hanya karena ada sesuatu yang salah dengan itu kamera bodoh itu?
Aku jadi bodoh, Greg berpikir, berusaha mengusir perasaan takut yang mengambil nafsu makannya.
"Oke, Yah. Baik," katanya, memaksakan tersenyum. "Aku ikut."
"Apa ada kentang lagi?" tanya Terry.

10

"Ini sangat mudah dikendarai," kata Mr Banks, mempercepat ke jalan masuk ke jalan bebas hambatan. "Ini seperti menangani mobil kecil, tak seperti station wagon."
"Banyak ruang di belakang sini, Yah," kata Terry, menggeser rendah jok belakang di samping Greg, mengangkat lututnya ke belakang kursi depan.
"Hei, lihat - ada pegangan minuman yang ditarik keluar dari dasbor" seru Ibu Greg. "Itu rapi."
"Mengagumkan, Bu," kata Terry sinis.
"Yah, kita tak pernah memiliki pegangan minuman sebelumnya," jawab Mrs Bank. Dia berbalik kembali kepada dua anak laki-laki itu. "Apakah sabuk pengaman kalian terkait? Apakah bekerja dengan benar?"
"Ya. Baik-baik saja,." Jawab Terry.
"Mereka memeriksanya di showroom, sebelum aku mengambil mobil ini," kata Mr Banks, memberi tanda untuk pindah ke jalur kiri.
Sebuah truk menderu, mengeluarkan awan knalpot belakangnya. Greg memandang keluar jendela depan. Jendela pintu masih tertutup oleh stiker mobil baru.
Mr Banks keluar dari jalan tol, ke jalan raya empat jalur hampir kosong yang menikung ke arah barat. Matahari terbenam adalah bola merah rendah di cakrawala di langit abu-abu arang.
"Tancap gas, Yah," desak Terry, duduk dan bersandar ke depan. "Ayo kita lihat apa yang mobil ini bisa dilakukan."
Mr Banks menurut menekan kakinya pada pedal gas. "Kecepatan luncurnya tampaknya sekitar enam puluh (mil perjam)," katanya.
"Pelan-pelan," omel Mrs Bank. "Kau tahu batas kecepatan lima puluh lima."
"Aku hanya mengujinya," kata ayah Greg membela diri. "Kau tahu. Memastikan persnelingnya tidak slip atau yang lainnya.."
Greg menatap speedometer yang bersinar. Mereka tujuh puluh (mil per jam) sekarang.
"Pelan-pelan. Aku serius," desak Mrs Bank. "Kau bertingkah seperti remaja gila."
"Itu aku" Mr Banks menjawab, tertawa. "Ini mengagumkan" katanya, menirukan Terry, mengabaikan permohonan istrinya untuk memperlambat.
Mereka meraung melewati beberapa mobil kecil di jalur kanan. Lampu-lampu mobil yang bergerak menuju mereka putih terang yang kabur di malam yang gelap itu.
"Hei, Greg, kau tenang sekali," kata ibunya. "Kau baik-baik saja?"
"Yeah, aku baik-baik saja,." Kata Greg pelan.
Dia berharap ayahnya akan memperlambat. Dia berjalan tujuh puluh lima (mil per jam) sekarang.
"Bagaimana menurutmu, Greg?" tanya Mr Banks, menyetir dengan tangan kiri saat tangan kanannya mencari-cari di dashboard. "Di mana tombol lampu? Aku harus menyalakan lampu mobilku."
"Mobil bagus," jawab Greg, berusaha terdengar antusias. Tapi dia tak bisa mengusir rasa takutnya, tak bisa mengeluarkan foto mobil hancur itu dari pikirannya.
"Mana saklar lampu yang bodoh itu? Harusnya ada di sini di suatu tempat," kata Mr Banks.
Saat ia melirik dashboard yang tak biasa, station wagon membelok ke kiri.
"Yah - hati-hati truk itu" jerit Greg.

11

Klakson berbunyi.
Satu hembusan udara kuat menyapu mobil station wagon, seperti gelombang laut raksasa mendorongnya ke samping.
Mr Banks membelokkan mobil station wagon ke kanan.
Truk itu menderu lewat.
"Maaf," kata ayah Greg, dengan mata lurus ke depan, memperlambat mobil untuk enam puluh, lima puluh lima, lima puluh. . .
"Aku bilang perlambat," omel Mrs Banks, menggelengkan kepala. "Kita bisa saja terbunuh"
"Aku coba untuk menemukan lampu," jelasnya. "Oh, Di sini. Di roda setir." Dia mengklik lampu itu.
"Kalian baik-baik saja?" tanya Mrs Bank, berpaling untuk memeriksa mereka.
"Ya. Baik," kata Terry, terdengar sedikit terguncang. Truk itu akan menabrak tempatnya di sisi mobil.
"Aku baik-baik saja," kata Greg. "Bisakah kita kembali sekarang?"
"Tidakkah kau ingin terus?" tanya Mr Banks, tak mampu menyembunyikan kekecewaannya. "Kupikir kita akan terus ke Santa Clara, berhenti dan membeli beberapa es krim atau yang lainnya.."
"Greg benar," kata Mrs Banks pelan kepada suaminya. "Cukup untuk malam ini, Sayang. Mari kita berbalik.."
"Truk itu tak sedemikian dekat," bantah Mr Bank. Tapi dia menurut keluar dari jalan raya dan mereka menuju rumah.
Lalu, aman dan sehat di kamarnya, Greg mengambil foto itu keluar dari lemari dan memeriksanya. Di foto station wagon baru itu, sisi pengemudi ambruk, kaca depan hancur.
"Aneh," katanya keras-keras, dan memasukkan foto itu di ruangan rahasia di ujung papan tempat tidurnya di mana ia menyembunyikan kamera itu. "Sungguh aneh."
Dia menarik kamera keluar dari tempat persembunyiannya dan memutarnya di tangannya.
Aku akan coba sekali lagi, putusnya.
Dia berjalan ke lemari dan membidik dirinya cermin.
Aku akan mengambil gambar diriku di cermin, pikirnya.
Dia mengangkat kamera, kemudian merubah pikirannya. Itu tak akan bekerja, ia menyadari. Lampu kilat akan memantul kembali dan merusak foto. Sambil mencengkeram kamera di satu tangan, ia berjalan melintasi lorong ke kamar Terry. Saudaranya ada di mejanya, mengetik di papan ketik komputer, wajahnya bermandikan cahaya biru dari layar monitor.
"Terry, bisakah aku memotretmu?" tanya Greg pelan, memegang kamera itu.
Terry mengetik lagi, lalu mendongak dari layar. "Hei - dari mana kau dapat kamera itu?"
"Eh... Shari meminjamkannya padaku," kata Greg padanya, berpikir cepat. Greg tak suka berbohong. Tapi dia merasa tak enak menjelaskan pada Terry bagaimana dia dan teman-temannya telah menyelinap ke rumah Coffman dan dia lari dengan kamera itu.
"Jadi bisakah aku memotretmu?" tanya Greg.
"Aku mungkin akan merusak kameramu," canda Terry.
"Kupikir ini sudah rusak," kata Greg padanya. "Itu sebabnya aku ingin mengujinya padamu."
"Silakan," kata Terry. Dia menjulurkan lidahnya dan menyilangkan matanya.
Greg menekan pemetik potret. Satu foto yang dicuci meluncur keluar dari slot di depan.
"Trim's. Sampai ketemu.." Greg menuju ke pintu.
"Hei - aku tak dapat melihatnya?" panggil Terry.
"Jika keluar," kata Greg, dan bergegas melintasi lorong ke kamarnya.
Dia duduk di tepi tempat tidur. Memegang foto dalam pangkuannya, ia menatapnya tajam saat foto itu dicuci. Warna kuning pertama-tama yang mengisi. Lalu warna merah muncul, diikuti dengan nuansa biru.
"Wah," gumam Greg saat wajah kakaknya muncul. "Ada sesuatu yang jelas salah di sini."
Dalam foto tersebut, mata Terry tak disilangkan, dan lidahnya tak mencuat keluar. Ekspresinya suram, ketakutan. Ia tampak sangat kesal.
Saat memperhatikan latar belakangny, Greg kembali terkejut. Terry tak ada di kamarnya. Dia di luar ruangan. Ada pohon-pohon di latar belakang. Dan suatu rumah.
Greg menatap rumah itu. Itu tampak begitu akrab.
Apakah rumah itu di seberang jalan dari taman bermain?
Dia melihat sekali lagi melihat ekspresi ketakutan Terry. Kemudian dia menyelipkan foto dan kamera ke dalam ruang rahasianya di ujung papan tempat tidurnya dan dengan hati-hati menutupnya.
Kamera itu pasti rusak, dia memutuskan, berusaha untuk tidur.
Ini adalah penjelasan terbaik yang bisa keluar dari (pikiran)nya.
Berbaring di tempat tidur, menatap bayang-bayang langit-langit yang bergeser, ia memutuskan untuk tak memikirkannya lagi.
Satu kamera yang rusak tak perlu dicemaskan.

***
Selasa sore setelah sekolah, Greg bergegas untuk menemui Shari di taman bermain untuk menonton pertandingan Liga Kecil Bird.
Itu adalah sore hari yang hangat, matahari tinggi di langit yang tak berawan. Rumput lapangan baru saja dipangkas dan mengisi udara dengan bau manis yang tajam.
Greg menyeberangi rumput dan memicingkan mata ke sinar matahari yang cerah, mencari Shari. Kedua tim melakukan pemanasan di sisi lapangan kasti, berteriak dan tertawa, suara bola masuk ke dalam sarung tangan bersaing dengan suara nyaring mereka.
Beberapa orang tua dan anak datang untuk menonton. Sebagian berdiri di sekitar lapangan, sebagian lagi duduk di tempat duduk terbuka stadion di sepanjang garis base pertama.
Greg melihat Shari belakang (pemain) penahan dan melambaikan tangan padanya. "Apa kau membawa kamera itu?" tanyanya penuh semangat, berlari menyambutnya.
Greg mengangkatnya.
"Bagus," seru Shari, sambil menyeringai. Dia meraihnya.
"Kupikir ini rusak," kata Greg, berpegangan pada kamera. "Foto-foto tak keluar dengan benar. Sulit untuk menjelaskan.."
"Mungkin itu bukan fotonya. Mungkin itu tukang fotonya," goda Shari.
"Mungkin aku akan memfotomu dilempari sandwich," ancam Greg. Dia mengangkat kamera itu ke matanya dan menunjuknyapada Shari.
"Potret itu, dan aku akan memfotomu memakan kamera," ancam Shari main-main. Dia meraih ke atas dengan cepat dan menarik kamera itu dari tangan Greg.
"Untuk apa kau ingin kamera ini, sih?" tanya Greg, berupaya setengah hati untuk mengambilnya kembali.
Shari memegangnya menjauh dari tangannya yang terulur. "Aku ingin mengambil gambar Bird saat ia datang untuk memukul. Dia tampak seperti burung unta di piring."
"Aku dengar itu." Bird muncul di samping mereka, pura-pura tersinggung.
Dia tampak konyol dalam seragam putihnya yang dikanji. Kemeja itu terlalu besar, dan celananya terlalu pendek. Topi adalah satu-satunya benda yang sesuai. Warnanya biru, dengan lumba-lumba perak di atas paruhnya dan kata-kata: PITTS LANDING DOLPHINS.
"Nama macam apa Dholphin ( Lumba-lumba) bagi tim kasti?" tanya Greg, menyambar paruh topi dan memutar topi itu kebelakang di kepala Bird.
"Semua topi lainnya dibawa," jawab Bird. "Kami punya pilihan antara Zephyrs (angin sepoi-sepoi)dan Dholpins (lumba-lumba). Tak seorang pun dari kami tahu apa itu Zephyrs,. Jadi kami mengambil Dholpins."
Shari menatapnya dari atas ke bawah. "Mungkin kalian harus bermain dalam pakaian jalananmu."
"Trim's atas dorongannya," jawab Bird. Dia melihat kamera dan mengambil itu darinya. "Hei, kau bawa kamera itu. Apa ada filmnya?"
"Ya. Kupikir begitu," kata Greg padanya. "Coba kulihat." Dia meraih kamera, tetapi Bird mengayunkan keluar dari genggamannya.
"Hei - apa kau akan berbagi hal ini, Greg?" tanyanya.
"Hah? Apa maksudmu?" Greg meraih kamera itu lagi, dan sekali lagi Bird mengayunkannya menjauh darinya.
"Maksudku, kita semua mempertaruhkan nyawa kita turun di ruang bawah tanah mendapatkan itu, kan?" kata Bird. "Kita semua harus berbagi."
"Yah..." Greg tak memikirkannya. "Kurasa kau benar, Bird. Tapi aku orang yang menemukannya. Jadi -"
Shari meraih kamera itu dari tangan Bird. "Kukatakan pada Greg untuk membawanya sehingga kita bisa mengambil gambarmu ketika kau sudah bangun."
"Satu bentuk contoh yang baik?" tanya Bird.
"Satu contoh buruk," kata Shari.
"Kalian hanya iri," jawab Bird, mengerutkan kening, "karena aku seorang atlet alami, dan kalian tak bisa menyeberang jalan tanpa jatuh di wajah kalian." Dia memutar kembali topi menghadap ke depan.
"Hei, Bird - kembali ke sini" panggil salah satu pelatih dari lapangan bermain.
"Aku harus pergi," kata Bird, memberi mereka satu lambaian cepat dan mulai berlari kembali ke teman-teman timnya.
"Jangan. Tunggu. Biarkan aku mengambil fotomu dengan cepat sekarang," kata Greg.
Bird berhenti, berbalik, dan mencari satu pose.
"Tidak, aku akan memfotonya," desak Shari.
Dia mulai untuk meningkatkan kamera ke matanya, membidik ke arah Bird. Dan saat ia mengangkatnya, Greg meraih untuk itu.
"Biarkan aku mengambilnya"
Dan kamera pun berpindah. Ditekannya dan lalu (kamera itu) bersinar sekejap.
Satu foto yang dicuci meluncur keluar.
"Hei, kenapa kau melakukan itu?" tanya Shari dengan marah.
"Maaf," kata Greg. "Aku tak bermaksud -"
Dia menarik foto itu dan memegangnya di tangannya. Greg dan Bird mendekati menonton yang dicuci itu.
"Buset, apa sih itu" teriak Bird, menatap tajam di persegi kecil itu saat warna-warna menjadi cerah dan mengambil bentuk.
"Oh, wow" teriak Greg.
Foto itu memperlihatkan Bird tergeletak tak sadarkan diri telentang di tanah, mulutnya terbuka, lehernya tertekuk dengan sudut yang menakutkan, matanya tertutup rapat.

12

"Hei - ada apa dengan kamera bodoh ini?" tanya Bird, menyambar foto dari tangan Shari. Dia memiringkan dari satu sisi ke sisi lain, menyipitkan mata di itu. "Ini di luar fokus atau sesuatu lainnya."
"Aneh," kata Greg, menggelengkan kepalanya.
"Hei, Bird - ke sini" panggil pelatih Dolphins.
"Aku datang" Bird mengembalikan foto itu ke Shari dan berlari ke teman-teman timnya.
Peluit ditiup. Kedua tim menghentikan latihan dan berlari ke bangku sepanjang garis base ketiga.
"Bagaimana ini bisa terjadi" tanya Shari pada Greg, melindungi matanya dari sinar matahari dengan satu tangan, memegang erat foto ke wajahnya dengan tangannya yang lain. "Ini benar-benar terlihat seperti Bird berbaring di tanah, pingsan atau yang lainnya. Tapi ia berdiri tepat di depan kita."
"Aku tak mengerti. Aku benar-benar tak mengerti," jawab Greg berpikir. "Kamera ini terus melakukan hal itu."
Membawa kamera di sisinya, berayun dengan tali yang ramping, ia mengikuti Shari ke tempat yang teduh di samping bangku-bangku stadion.
"Lihat betapa bengkok lehernya," lanjut Shari. "Ini sangat mengerikan."
"Ada sesuatu yang jelas salah dengan kamera ini," kata Greg. Dia mulai menceritakan tentang foto yang ia ambil dari mobil station wagon baru, dan foto dari Terry saudaranya. Tapi Shari menyelanya sebelum dia bisa menyelesaikan kata-katanya.
"- Dan itu foto Michael. Menunjukkan dia jatuh dari tangga bahkan sebelum dia jatuh. Hanya saja ini begitu aneh..."
"Aku tahu," kata Greg.
"Coba kulihat kamera itu," kata Shari dan menarik kamera dari tangannya. "Apakah masih ada film yang tersisa?"
"Aku tak bisa beritahu," mengakui Greg. "Aku tak bisa menemukan penghitung film atau apa pun."
Shari memeriksa kamera dengan dekat, menggulirkannya di tangannya. "Ia tak mengatakan di mana saja. Bagaimana kau bisa tahu apakah itu dikeluarkan atau tidak."
Greg mengangkat bahu.
Pertandingan bisbol mulai berlangsung. Dholphins adalah tim tamu. Tim lain, Cardinals, berlari keluar untuk mengambil posisi mereka di lapangan.
Seorang anak di bangku menjatuhkan kaleng sodanya. Kaleng itu menghantam tanah dan tumpah, dan anak itu mulai berteriak. Sebuah mobil station wagon tua berisi dengan remaja melaju lewat, membunyikan radio, bunyi klakson meraung-raung .
"Di mana kau menempatkan filmnya?" tanya Shari tak sabar.
Greg melangkah lebih dekat untuk membantunya memeriksanya. "Di sini, pikirku," katanya, menunjuk. "Apa bagian belakangnya tak dilepas?"
Shari menggesek-geseknya. "Tidak, kupikir tidak begitu. Sebagian besar kamera cuci otomatis memuatnya di depan.."
Dia menarik belakangnya, tetapi kamera tak terbuka. Dia mencoba menarik dari bawah. Tak lebih beruntung. Memutar kamera, dia mencoba menarik lensanya. Ini tak bergeming.
Greg mengambil kamera darinya. "Tak ada slot atau lubang di depan."
"Nah, kamera apa itu, sih?" Shari menuntut.
"Eh... Ayo kita lihat." Greg mempelajari bagian depan, memeriksa bagian atas lensa, kemudian membalik kamera ke atas dan mempelajari bagian belakangnya.
Dia menatap ke arahnya dengan ekspresi terkejut di wajahnya. "Tak ada nama mereknya. Tak ada."
"Bagaimana bisa kamera tidak punya nama?" teriak Shari jengkel. Dia menyambar kamera menjauh dari Greg dan memeriksa dengan seksama, menyipitkan matanya terhadap sinar matahari sore yang terang benderang.
Akhirnya, dia menyerahkan kamera kembali kepadanya, kalah. "Kau benar, Greg. Tak ada namanya. Tak ada kata apapun. Tak ada. Kamera bodoh," tambahnya dengan marah.
"Wah. Tunggu," Kata Greg padanya. "Ini bukan kameraku, ingat aku tak membelinya.? Aku mengambilnya dari rumah Coffman."
"Yah, ayo kita setidaknya mengetahui bagaimana cara membukanya dan melihat isinya," kata Shari.
Pukulan Dolphin pertama muncul ke penjaga base kedua. Pukulan kedua memukul pada tiga ayunan lurus. Selusin penonton atau sedemikian berteriak memberi semangat pada tim mereka.
Anak kecil yang telah menjatuhkan sodanya terus berteriak. Tiga anak-anak yang naik sepeda, melambaikan tangan pada teman-temannya di tim, tetapi tak berhenti untuk menonton.
"Aku sudah mencoba dan mencoba, tapi aku tak bisa mencari cara untuk membukanya," aku Greg.
"Berikan padaku," kata Shari dan meraih kamera itu darinya. "Harusnya ada tombol atau sesuatu. Harus ada beberapa cara untuk membukanya. Ini konyol."
Ketika dia tak bisa menemukan tombol atau tuas apapun, ia mencoba menarik belakangnya sekali lagi, mencongkel dengan kuku-kuku jarinya. Lalu ia mencoba memutar lensa, tapi tak mau berputar.
"Aku tak akan menyerah," katanya, mengertakkan gigi. "Aku tak akan. Kamera ini harus terbuka. Itu harus"
"Menyerahlah. Kau akan menghancurkannya," kata Greg, meraihnya.
"Merusaknya. Bagaimana aku bisa merusaknya?" Shari menuntut. "Ini tak punya bagian-bagian yang bergerak. Tak ada."
"Ini tak mungkin," kata Greg.
Dengan wajah jijik, Shari menyerahkan kamera padanya. "Oke, aku menyerah. Periksa sendiri, Greg.."
Greg mengambil kamera itu, mulai mengangkatnya ke wajahnya, lalu berhenti.
Mengeluarkan teriakan pelan terkejut, mulutnya ternganga dan matanya lurus ke depan terbuka lebar. Kaget, Shari berpaling untuk mengikuti tatapan terkejutnya.
"Oh tidak"
Ada di tanah beberapa meter di luar garis base pertama, berbaring Bird. Dia telentang, lehernya tertekuk di sudut yang aneh dan tak wajar, matanya tertutup rapat.

Edit by : zheraf.net
http://www.zheraf.net

13

"Bird" teriak Shari.
Napas Greg tercekat di tenggorokan. Dia merasa seolah-olah dia tercekik. "Oh" akhirnya ia berhasil berteriak dengan suara melengking serak.
Bird tak bergerak.
Shari dan Greg, berlari berdampingan dengan kecepatan penuh, mencapai Bird bersama-sama.
"Bird?" Shari berlutut di sampingnya. "Bird?"
Bird membuka satu mata. "Kena kau," katanya pelan. Setengah senyum aneh terbentuk di wajahnya, dan dia tertawa bernada tinggi terbahak-bahak.
Butuh waktu bagi Shari dan Greg untuk bereaksi. Mereka berdua berdiri ternganga, terbelalak lebar di teman mereka yang tertawa.
Kemudian, jantung Greg mulai melambat normal, ia meraih ke bawah, meraih Bird dengan kedua tangannya, dan menariknya bangkit dengan kasar.
"Aku akan memegangnya saat kau memukulnya," Greg menawari (Shari), memegang Bird dari belakang.
"Hei, tunggu -" protes Bird, meronta-ronta menggeliat keluar dari cengkeraman Greg.
"Rencana yang bagus," kata Shari, menyeringai.
"Aduh Hei - lepaskan Ayolah Lepaskan" protes Bird, berusaha sia-sia bergulat agar bebas. "Ayolah Apa masalah kalian? Itu lelucon, teman-teman"
"Sangat lucu," kata Shari, memberikan pukulan main-main di bahu Bird. "Kau amat lucu, Bird."
Bird akhirnya membebaskan dirinya dengan menarik keras dan menari menjauh dari mereka berdua. "Aku hanya ingin menunjukkan kalian semua untuk tahu bagaimana palsunya kamera cuci bodoh itu."
"Tapi, Bird -" Greg memulai.
"Hanya saja rusak, itu saja," kata Bird, menyikat beberapa helai rumput yang baru dipotong di celana seragamnya. "Kau pikir karena itu, ia menunjukkan Michael jatuh menuruni tangga, ada yang aneh dengan ini. Tapi itu bodoh.. Benar-benar bodoh."
"Aku tahu itu," jawab Greg tajam. "Tapi bagaimana kau menjelaskannya?"
"Sudah kubilang, man. Kamera itu rusak. Rusak. Itu saja."
"Bird - ke sini" satu suara memanggil, dan sarung tangan penangkap bola Bird datang terbang di kepalanya. Dia menangkapnya, melambai dengan satu seringai ke Shari dan Greg, dan berlari ke area lapangan bisbol bersama dengan anggota lain dari Dolphins.
Membawa kamera erat di satu tangan, Gcreg memimpin jalan ke bangku-bangku stadion. Dia dan Shari duduk di ujung bangku Bagian bawah.
Beberapa penonton sudah kehilangan minat pada permainan yang berlangsung dan telah pergi. Beberapa anak telah mengambil bola kasti dari lapangan dan bermain sendiri menangkap (bola) di belakang bangku penonton. Di seberang taman bermain, empat atau lima anak-anak mulai bermain sepak bola.
"Bird sungguh konyol," kata Greg, matanya pada permainan.
"Dia membuatku takut sampai mati," seru Shari. "Kupikir dia benar-benar terluka."
"Badut," gumam Greg.
Mereka menyaksikan permainan dalam keheningan selama beberapa saat. Ini tak terlalu menarik. Dolphins kalah 12-3 di babak ketiga. Tak satu pun dari para pemain yang (bermain) sangat baik.
Greg tertawa saat pemukul Cardinal, seorang anak dari kelas mereka bernama Joe Garden, menghantam bola yang melayang keluar ke lapangan dan tepat di atas kepala Bird.
"Itu bola ketiga yang terbang di atas kepalanya" teriak Greg.
"Mungkin dia akan hilang di matahari" seru Shari, ikut tertawa.
Mereka berdua menyaksikan kaki panjang bangau Bird (mengejar) setelah bola. Pada saat ia berhasil menangkapnya dan mengangkatkatnya ke arah lapangan, Joe Garden sudah berputar ke base dan mencetak (angka).
Ada ejekan keras dari para penonton.
Pemukul Kardinal selanjutnya melangkah ke tempat memukul. Beberapa anak lagi turun dari bangku, setelah cukup melihat.
"Disini matahari sangat panas," kata Shari, melindungi matanya dengan satu tangan. "Dan aku punya banyak PR. Mau pergi?."
"Aku hanya ingin melihat babak berikutnya," kata Greg, mengamati pemukul mengayun dan meleset. "Bird main di babak berikutnya. Aku ingin tinggal dan mengejeknya.."
"Apa itu gunanya teman?" kata Shari sinis.
Ini butuh waktu lama untuk Dolphins untuk menyelesaikan babak ketiga. The Cardinals telah memukul di seluruh urutan mereka.
Kaos Greg basah dengan keringat waktu Bird datang ke tempat memukul di awal (babak) keempat.
Meskipun Shari dan Greg mencemooh dengan nyaring, Bird berhasil memukul bola melewati shotstop (perhentian pendek di antara base ke 2 dan ke 3) untuk single (perhentian aman di base 1).
" Pukulan yang mujur" teriak Greg, menangkupkan tangannya seperti sebuah megafon.
Bird pura-pura tak mendengarnya. Dia melemparkan helm pemukulnya (pada rekan timnya), menyesuaikan topinya, dan mengambil pimpinan singkat dari base pertama.
Pemukul berikutnya mengayunkan pada lemparan pertama dan gagal.
"Ayo pergi," desak Shari, menarik lengan Greg. "Ini terlalu panas. Aku mati kehausan.."
"Ayo kita lihat apakah Bird -"
Greg tak menyelesaikan kalimatnya.
Pemukul memukul bola berikutnya dengan keras. Ini membuat suara keras saat meninggalkan (tongkat) pemukul.
Selusin orang - pemain dan penonton - menjerit saat bola terbang melintasi lapangan, bergerak dengan garis yang tajam, dan memhantam ke sisi kepala Bird dengan suara lain.
Greg menyaksikan dengan ngeri saat bola memantul dari Bird dan tergiring jauh ke tengah lapangan rumput. Mata Bird terbelalak tak percaya, kebingungan.
Dia berdiri membeku di tempat pada garis base untuk waktu yang lama.
Kemudian mengangkat kedua tangan dengan dramatis ke atas kepalanya, dan ia menjerit melengking, panjang dan keras, seperti ringkikan bernada tinggi dari kuda.
Matanya bergulung di kepalanya. Dia berlutut. Mengeluarkan teriakan lain, kali ini lebih pelan. Lalu roboh, menggeletak ke punggungnya, lehernya berada di sudut yang tak wajar, matanya tertutup.
Dia tak bergerak.

14

Dalam hitungan detik, kedua pelatih dan kedua tim itu buru-buru berlari ke pemain yang jatuh itu, berkerumun di atasnya, membentuk suatu lingkaran erat, hening di sekelilingnya.
Sambil berteriak, "Bird Bird" Shari melompat dari bangku dan mulai berlari ke lingkaran penonton dengan ngeri.
Greg mulai mengikuti, tapi berhenti ketika ia melihat sosok yang akrab yang berlari (dengan kecepatan) penuh menyeberangi jalan, melambai kepadanya.
"Terry" teriak Greg.
Mengapa saudaranya datang ke taman bermain? Mengapa dia tak di tempat kerjanya sehabis sekolah di Dairy Freeze?
"Terry ? Apa yang terjadi?" teriak Greg.
Terry berhenti, terengah-engah, keringat mengalir di dahinya merah yang terang. "Aku... Berlari... Di... Sepanjang... Jalan," ia berhasil mengucapkan.
"Terry, apa yang salah?" Perasaan sakit pelan-pelan timbul dari perut Greg.
Saat Terry mendekat, wajahnya berekspresi ketakutan yang sama seperti di foto dirinya yang diambil Greg.
Ekspresi ketakutan yang sama. Dengan rumah yang sama di belakangnya di seberang jalan.
Foto itu telah menjadi kenyataan. Sama seperti foto Bird tergeletak di tanah itu menjadi kenyataan.
Tenggorokan Greg tiba-tiba terasa kering seperti kapas. Dia menyadari bahwa lututnya gemetar.
"Terry, apa yang terjadi?" ia berhasil berteriak.
"Ayah," kata Terry, meletakkan satu tangan beratnya di bahu Greg.
"Hah, Ayah?"
"Kau harus pulang, Greg. Ayah - Dia mengalami kecelakaan yang buruk."
"Kecelakaan?" kepala Greg berputar. Kata-kata Terry tak masuk akal baginya.
"Di mobil baru," jelas Terry, kembali meletakkan tangan beratnya di bahu Greg yang gemetar. "Mobil baru ini (rusak) total. Sepenuhnya (rusak) total.."
"Oh," desah Greg, merasa lemah.
Terry meremas bahunya. "Ayolah. Cepat."
Memegang erat kamera di satu tangan, Greg mulai berlari mengejar kakaknya.
Mencapai jalan, ia berbalik kembali ke taman bermain untuk melihat apa yang terjadi dengan Bird.
Banyak orang masih berkerumun di sekitar Bird, menghalangi dirinya dari pandangan.
Tapi - apa itu bayangan gelap di balik bangku? Greg bertanya-tanya.
Seseorang - seseorang serba hitam - bersembunyi di belakang sana.
Mengawasi Greg?
"Ayo" desak Terry.
Greg menatap tajam bangku-bangku itu. Sosok gelap itu mundur keluar dari pandangan.
"Ayolah, Greg"
"Aku datang" teriak Greg, dan mengikuti saudaranya menuju rumah.

bersambung klik di sini


bersambung

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar dan mari kita tunjukan bahwa kita adalah bangsa yg beradab..
Terimakasih